Sabtu, 15 Juni 2013

Mengenal Sosok Taufik Kiemas


Indonesi kembali kehilangan putra terbaiknya. Siapa yang tak kenal orang nomer 1 di MPR RI ini. Ya, dialah Taufiq Kiemas. Tepat pada hari sabtu tanggal 8 juni 2013 ini, beliau wafat tepat diusianya yang ke-70. Pria kelahiran Jakarta, 31 Desember 1942 ini memang dikenal sebagai politisi ulung yang pernah ada di Indonesia.

Taufiq juga bergelar Datuk Basa Batuah merupakan seorang keturunan Palembang-Minangkabau. Ayahnya adalah seorang guru yang pergi merantau ke Palembang. Sedangkan ibunya, Hamzathoen Roesyda, berasal dari kanagarian Sabu, Batipuah Ateh, Tanah Datar, Sumatera Barat.


Taufiq Kiemas memulai karier politiknya ketika dibangku mahasiswa dengan bergabung sebagai anggota GMNI. Kemudian ia bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia dan terpilih sebagai anggota DPR/MPR-RI pada tahun 1992. Selama masa Orde Baru, karier politiknya banyak dikebiri oleh pihak penguasa. Kariernya mulai cemerlang, ketika rezim Soeharto tumbang. Pada Pemilu 1999, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) keluar sebagai pemenang. Kemenangan ini mengantarkan istrinya menjadi Wakil Presiden dan kemudian Presiden Indonesia kelima. Kini sebagai salah satu tokoh penting di partai, ia menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu). Ia kembali terpilih menjadi anggota DPR periode 2009–2014 dari PDI-Perjuangan untuk Daerah Pemilihan Jawa Barat II. Sebagai politikus terkemuka, banyak penulis yang mengulas karier politik Taufiq Kiemas, diantaranya ialah karya Derek Manangka yang berjudul Jurus Dan Manuver Politik Taufiq Kiemas : Memang Lidah Tak Bertulang yang terbit pada tahun 2009. Pada 17 Desember 2011, Ia menjalani operasi pergantian baterai alat pemacu jantung di Rumah sakit Harapan Kita.

Tepat bersamaan dengan ulang tahun ke-70, Taufiq Kiemas meluncurkan biografinya yang berjudul Gelora Kebangsaan Tak Kunjung Padam. Buku setebal 471 halaman itu berisi perjalanan hidup Taufiq Kiemas sejak kecil, besar di Yogyakarta, dan mulai masuk di kancah politik nasional, hingga menjadi ketua MPR.

Jangkar pemersatu

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, mengibaratkan Taufiq Kiemas sebagai jangkar pemersatu bangsa. Dalam praktik politik sehari-hari, Taufiq kerap memilih bersikap fleksibel ketimbang kaku demi mempersatukan para pihak yang berseteru.

Taufiq Kiemas lahir di tengah kekacauan saat tentara Sekutu menyerahkan kekuasaan atas Indonesia pada Jepang pada tahun 1942. Nama aslinya sesungguhnya Tastafvian Kiemas, namun pada akhirnya lebih dikenal dengan Taufiq Kiemas.

Dalam buku “Jembatan Kebangsaan: Biografi Politik Taufiq Kiemas” yang diedit Imran Hasibuan dan Muhammad Yamin, dikisahkan sejak kecil Taufiq Kiemas kerap diajak berdiskusi politik oleh keluarganya. Ini karena ayahnya, Tjik Agus Kiemas yang berdarah Palembang, merupakan pegawai Persatuan Warung Bangsa Indonesia yang bernaung di bawah Masyumi, partai Islam terbesar ketika itu.

Ibunda Taufiq, Hamzatun Rusjda yang berdarah Minang, juga amat berperan dalam kehidupan Taufiq. Ia menyekolahkan putranya ke sekolah-sekolah terbaik. Meskipun aktif di Masyumi, Hamzatun banyak bergaul dengan istri tokoh-tokoh Murba, partai beraliran kini yang didirikan Tan Malaka sang mantan ideolog PKI.

Taufiq Kiemas yang besar pada masa agresi militer II Belanda, kemudian tumbuh menjadi anak yang berani dan berjiwa nasionalis. Meskipun dibesarkan dalam keluarga Masyumi yang Islam-nya kuat, Taufiq selalu disekolahkan ke sekolah sekuler.

Hingga pada 19 Agustus 1960, Taufiq mendengarkan pidato Presiden Soekarno yang membubarkan Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia di hadapan pengurus kedua partai itu. Taufiq langsung terkesan pada Soekarno. Ia berpikir, membubarkan partai politik langsung di depan para pemimpin partai itu adalah perbuatan yang luar biasa.

Taufiq remaja pun jatuh cinta pada Soekarno. Buku-buku Bung Karno dilahapnya. Begitu duduk di bangku kuliah, Taufiq bergabung dengan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Ia bahkan pernah menimba ilmu dari tokoh-tokoh PKI ketika karena suatu hal dijebloskan ke sel tahanan Korps Polisi Militer Kodam Sriwijaya, Palembang.

Satu setengah tahun mendekam di penjara bersama tokoh-tokoh politik nasional dari berbagai aliran membuat Taufiq mengambil kesimpulan: kalau mau main politik harus punya jaringan luas, dan untuk membina jaringan politik, sikap apriori sedapat mungkin harus dihilangkah, bahkan terhadap lawan politik sekalipun.

Sikap lentur ini kemudian menjadi ciri khas Taufiq. “Taufiq Kiemas adalah tokoh dengan kategori liminal (berposisi antara) yang bisa mengatasi batas-batas pengelompokan karena pertautannya dengan beragam aliran,” kata pengamat politik Yudi Latif.

Kisah Cintanya dengan Megawati

Dikutip dari buku Gelora Kebangsaan Tak Kunjung Padam 70 Tahun Taufiq Kiemas, Minggu (9/6/2013), awal pertemuan dua sejoli itu berlangsung cukup istimewa. Pada Bulan Juli 1971, Taufiq Kiemas bersama Guntur Soekarnoputra dan Panda Nababan melakukan ziarah ke makam Bung Karno di Blitar, Jawa Timur. 

Usai berziarah ke makam Bung Karno, mereka menyempatkan diri untuk mengunjungi komplek perumahan AURI di Madiun, Jawa Timur, tempat Megawati tinggal. Di sinilah mereka berkenalan untuk kali pertama.

"Saat itulah saya akhirnya berkenalan dengan Taufiq," kenang Megawati. Padahal, jauh sebelum mereka berkenalan, pada 1964 sebelum Megawati menikah dengan Letnan (Penerbang) Surindro Suprijarso, Guntur telah menceritakan sosok Taufiq kepada Megawati. 

"Dis (Adis, nama panggilan kecil Megawati), nanti saya kenalkan dengan teman saya, si Bule (Taufiq Kiemas)," kata Guntur kepada Megawati kala itu. Taufiq Kiemas dipanggil Si Bule karena berperawakan jangkung dan berkulit putih, selain itu karena dinilai ganteng dan santun.

Tak lama setelah berkenalan, cinta akhirnya bersemi di antara mereka. Singkat cerita, setahun setelah menjalin kasih, pada Maret 1973 akhirnya pasangan ini melangsungkan pernikahan dengan sebuah resepsi sederhana di Panti Perwira, Jalan Prapatan, Jakarta Pusat. 

Di pernikahan keduanya, Megawati telah memiliki 2 orang anak, Mohammad Rizki Pratama (Tamtam) dan Mohammad Prananda (Nanan) dari pernikahannya dengan Surindro Suprijarso. Beruntung, Taufiq tidak pernah membeda-bedakan kasih sayang terhadap mereka, hingga pada 1974 Tuhan menganugerahi pasangan ini seorang puteri, yakni Puan Maharani.

"Sejak awal menikah, aku telah menganggap Tamtam dan Nanan sebagai anak kandungku. Mereka berdua tidak saya beda-bedakan dengan Puan. Kasih sayangku kepada ketiga anakku itu sama," tutur Taufiq.

Pada saat itu, situasi politik Indonesia tengah bergejolak. Pada zaman orde baru, pasangan ini kerap mendapatkan banyak rintangan dan halangan karena mereka merupakan orang-orang terdekat Presiden Soekarno, bahkan kondisi ekonomi mereka turut dibatasi pada masa itu.

Akan tetapi, berkat kegigihan dan kesabaran mereka, hingga menghembuskan nafas terakhirnya, pasangan Taufiq Kiemas dan Megawati Soekarnoputri berhasil mengarungi biduk rumah tangga mereka hingga detik ini.

Dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar